Saling Lempar Tanggung Jawab Masalah Pendidikan Anak? Terkadang kita dapati suami dan istri keduanya memiliki kesibukan sendiri. Dan mereka tidak memiliki waktu untuk mendidik anak mereka dengan baik. Lalu, mereka saling lempar tanggung jawab pendidikan anak kepada pasangannya. Sehingga terjadilah konflik. Perlu dipahami bahwa ayah atau para suami adalah penanggung jawab utama dalam keluarga, termasuk dalam pendidikan anak. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan.” (QS. At-Tahrim: 6) Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau menafsirkan ayat ini, beliau berkata, علِّموهم، وأدّبوهم “Ajari keluarga kalian ilmu dan ajari keluarga kalian adab!” Perhatikanlah, khithab (arah pembicaraan) ayat ini adalah untuk para ayah atau suami. Rasulullah shallallahu ’alahi wasallam juga bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang lelaki adalah pemimpin di keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829) Hadis ini jelas menerangkan bahwa suami akan ditanya perihal keluarganya. Apakah diajari agama? Apakah telah dilarang dari kesyirikan? Apakah telah diperintahkan untuk salat? Apakah diperintahkan untuk menutup aurat? Dan semisalnya. Sehingga suami wajib memberikan pengajaran dan bimbingan kepada keluarganya. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, An-Nawawi rahimahullah membuat judul bab sebagai berikut, باب وجوب أمره أهله وأولاده المميزين وسائر من في رعيته بطاعة الله تعالى ونهيهم عن المخالفة وتأديبهم ومنعهم من ارتكاب مَنْهِيٍّ عَنْهُ “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah juga mengatakan, فواجب على كل مسلم أن يعلم أهله ما بهم الحاجة إليه من أمر دينهم ويأمرهم به، وواجب عليه أن ينهاهم عن كل ما لا يحل لهم ويوقفهم عليه ويمنعهم منه ويعلمهم ذلك كله “Wajib bagi setiap muslim untuk mengajarkan keluarganya perkara-perkara agama yang mereka butuhkan dan wajib memerintahkan mereka untuk melaksanakannya. Wajib juga untuk melarang mereka dari segala sesuatu yang tidak halal bagi mereka dan menjauhkan serta mencegah mereka dari semua itu. Dan wajib mengajarkan mereka semua hal ini (perintah dan larangan).” (Al-Istidzkar, hal. 510) Terlebih lagi, para suami diancam tidak masuk surga ketika membiarkan keluarganya bermaksiat. Dan ancaman ini ditujukan khusus kepada para suami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ثلاثةٌ لا يَدخلُونَ الجنةَ: العاقُّ لِوالِدَيْهِ ، و الدَّيُّوثُ ، ورَجِلَةُ النِّساءِ “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, ad-dayyuts, dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 10: 226, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid 2: 861, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3063) Siapa itu dayyuts? Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis lain, ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ وَالْعَاقُّ وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ “Ada tiga orang yang Allah haramkan mereka masuk surga. Pecandu khamr, anak yang durhaka pada orang tua dan ad-dayyuts, yaitu orang yang setuju pada khabats (maksiat) yang dilakukan oleh anak-istrinya.” (HR. Ahmad no. 5372, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‘ no. 3052) Kemudian kita lihat juga penjelasan para ulama. Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Ad-dayyuts adalah sebuah kerendahan. Sehingga ketika ia melihat anak-istrinya melakukan kemungkaran, ia tidak cemburu.” (Faidhul Qadir, 3: 327) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah mengatakan, “Para ulama mengatakan, ‘Ad-dayyuts adalah lelaki yang tidak punya rasa cemburu terhadap anak-istrinya.’” (Az-Zawajir, 2: 347) Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa para suami punya tanggung jawab besar untuk mendidik keluarganya dan membimbing mereka, bahkan untuk mengingkari kemungkaran yang ada pada mereka. Dan para suami ancam dengan ancaman yang keras jika lalai pada hal ini. Ibu Juga Punya Tanggung Jawab Para ibu memiliki peran krusial dalam pendidikan anak. Bahkan, para ibu disebut sebagai pemimpin untuk urusan rumah dan anak-anak. Dalam hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ “ … seorang istri adalah pemimpin terhadap urusan rumah suaminya dan urusan anaknya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR. Bukhari no. 7138) Dalam syair yang terkenal disebutkan: الام مدرسة اذا أعددتها * اعددت شعبا طيب الاعراق الام روض ان تعهده الحيا * بالري أورق أيما ايراق الام أستاذ الاساتذة الاولى * شغلت مأثرهم مدى الافاق “Ibu bagaikan sekolah, jika engkau siapkan mereka dengan baik, maka engkau telah menyiapkan bibit dari masyarakat yang harum (baik). Ibu adalah taman jika engkau merawatnya. Ia akan tumbuh segar dengan dipenuhi dedaunan rindang. Ibu adalah guru pertama dari para guru. Peran mereka dirasakan sampai ke ujung ufuk.” Maka, istri atau ibu juga punya tanggung jawab dalam pendidikan anak, sebagai pendidik. Karena tentunya suami lebih sering berada di luar rumah untuk mencari nafkah, berdakwah, dan berjihad. Otomatis ibu atau istri-lah yang lebih intens membersamai dan memberikan pengajaran kepada anak-anak. Sehingga, suami adalah pemimpin dan penanggung jawab pendidikan anak, sedangkan istri sebagai pengajar utama. Keduanya punya tanggungan dalam pendidikan anak. Terlebih dalam dalil-dalil disebutkan secara umum kepada para orang tua tanpa membedakan ayah atau ibu. Misalnya dalam sebuah hadis, dari kakeknya ‘Amr bin Syu’aib, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, مُروا أولادَكم بالصلاةِ وهم أبناءُ سبعِ سنينَ واضربوهُم عليها وهمْ أبناءُ عشرٍ وفرِّقوا بينهُم في المضاجعِ “Perintahkan anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka (jika tidak mau salat) ketika mereka berusia 10 tahun. Dan pisahkanlah mereka dalam masalah tempat tidur.” (HR. Abu Daud no. 495, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud) Khithab (arah pembicaraan) dari hadis ini umum kepada para ayah atau para ibu. Kesimpulannya, suami dan istri harus memahami bahwa keduanya punya tanggung jawab terhadap pendidikan anak. Maka, tidak boleh saling lempar tanggung jawab. Suami adalah pemimpin dan penanggung jawab pendidikan anak, sedangkan istri sebagai pengajar utama. Keduanya punya tanggungan dalam pendidikan anak. Wallahu Ta’ala a’lam. ________________________________________________________________________________________________________ Penulis: Ustadz Yulian Purnama Sumber: https://muslim.or.id/83181-lempar-tanggung-jawab-pendidikan-anak.html

Saling Lempar Tanggung Jawab Masalah Pendidikan Anak?

Saling Lempar Tanggung Jawab Masalah Pendidikan Anak? Terkadang kita dapati suami dan istri keduanya memiliki kesibukan sendiri. Dan mereka tidak memiliki waktu untuk mendidik anak mereka dengan baik. Lalu, mereka saling lempar tanggung jawab pendidikan anak kepada pasangannya. Sehingga terjadilah konflik. Perlu dipahami bahwa ayah atau para suami adalah penanggung jawab utama dalam keluarga, termasuk…

Pendidikan Anak Itu Tanggung Jawab Siapa Sebetulnya? Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya? Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631). Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ “Sesunguhnya Allah ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad: 10618. Hasan). Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦) “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6). Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502). Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278). Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123). Tanggung Jawab Orang Tua Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak. Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679). Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72). Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agam. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125). Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih! “Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “ وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤) “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74). Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah al Maudud hal. 123). Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri. Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini, كيف استقم الظل و عوده أعوج “Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?” Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus. Allah ta’ala berfirman, ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34). Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82, وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢) “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82). Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang dimaksud ” وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi. Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua. وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١) “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21). Maka disini, Allah ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan kedua orang tuanya. Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah mengatakan, يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك “Wahai anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).” Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga pernah berkata, إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي “Ada kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah ta’ala).” Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga dan memelihara anak-anak kita. Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim __________________________________________________________________________________________________________ Artikel Bersumber Dari : Website Muslim.or.id

Pendidikan Anak Itu Tanggung Jawab Siapa Sebetulnya?

Pendidikan Anak Itu Tanggung Jawab Siapa Sebetulnya? Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya? Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak…

Memilih Guru Yang Shalih Untuk Si Buah Hati Ayah dan bunda yang dirahmati Allāh tabāraka wa ta’āla. Di pembahasan ini kami peruntukkan kepada orang tua, yaitu; hendaknya memilih guru yang shalih. Interaksi anak dan guru akan terjadi ikatan batin di antara kedua pihak sehingga mampu memberikan pengaruh kepada anak kita. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan agar memilih teman dekat yang baik dan teman duduk yang shalih, terlebih lagi dalam hal memilih pengajar dan pendidik. Rasūlullāh shallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang itu mengikuti agama temannya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata: “Ilmu adalah tuntunan. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa orang yang bakal kalian ambil ilmunya.” Imam al-Mawardi rahimahullah berkata: “Orang tua seharusnya berupaya keras dalam memilih pendidik sebagaimana upaya kerasnya dalam memilih ibu pesusuan bagi anaknya, bahkan harus lebih keras lagi usahanya. Hal ini disebabkan, karena anak akan mengambil akhlak, perangai, adab, etika, dan kebiasaan dari pendidiknya dalam skala yang lebih besar daripada yang ia ambil dari orang tuanya, karena pergaulan anak dengan pendidiknya lebih banyak dan waktu menimba pelajaran darinya jauh lebih banyak. Selain itu, sang anak telah diperintahkan saat diserahkan pada pengajarnya agar mengikutinya secara menyeluruh dan mematuhi segala perintahnya. (Nasihatul Muluk, hal. 170). Jika kita membaca biografi para ulama dahulu, disana kita akan dapati antusias ulama dalam memilih guru yang shalih, meski hal itu mengharuskan mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh dan berpindah-pindah tempat di berbagai kawasan. Sudah barang tentu hal ini sangat melelahkan dan memakan biaya yang tidak sedikit. Begitu pun semangat para orang tua ulama dahulu dalam memilih guru untuk anak-anaknya. Karena mereka menyadari dampak yang akan didapatkan oleh anak-anaknya. Saat ini tanggung jawab memilih guru yang shalih juga tidak hanya pada orang tua, tapi juga lembaga-lembaga pendidikan untuk serius memilih guru. Diriwayatkan dari Uthbah bin Abi Sufyan saat berpesan kepada orang yang akan mendidik anaknya: “Hai Abdush Shamad, yang pertama hendaknya engkau awali dengan memperbaiki dirimu sendiri, karena pandangan anak-anak didikmu terikat dengan pandanganmu. Bagi mereka, hal yang baik ialah apa yang engkau pandang baik, dan yang buruk ialah apa yang engkau pandang buruk. Tanamkan agar mereka segan kepadaku dan didiklah mereka sebagai ganti dariku. Jadilah engkau bagi mereka seperti dokter yang bersikap hati-hati, yang hanya memberikan obat setelah mendiagnosis penyakitnya. (Diringkas dari Kitab Athfal Muslim Laifa Rabbahum an-Nabiyyu al-Amiin). Abu Syamah Asy-Syafi’I dalam kitabnya Majmu’atur Rasail, Adab Mau’allimish Shibyan menjelaskan: “Hendaknya sang pendidik memulai aktivitas mengajarnya dengan terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri, karena mata anak didik tertuju padanya dan telinga mereka mendengar dan patuh padanya. Karenanya, apa pun yang dinilai buruk olehnya maka menurut mereka juga buruk. “ Semoga kita dimudahkan untuk memilihkan guru yang shalih yang akan memberikan pengaruh berupa akhlak, perangai, adab, etika, dan kebiasaan yang Baik kepada anak-anak kita. Ditulis Oleh: Ustadz Abu Rufaydah, Lc., MA. حفظه الله (Kontributor Bimbinganislam.com) ________________________________________________________________________________________________________ Sumber Artikel : https://bimbinganislam.com/guru-yang-shalih-untuk-sibuahhatimu/

Memilih Guru Yang Shalih Untuk Si Buah Hati

Memilih Guru Yang Shalih Untuk Si Buah Hati Ayah dan bunda yang dirahmati Allāh tabāraka wa ta’āla. Di pembahasan ini kami peruntukkan kepada orang tua, yaitu; hendaknya memilih guru yang shalih. Interaksi anak dan guru akan terjadi ikatan batin di antara kedua pihak sehingga mampu memberikan pengaruh kepada anak kita. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan…

Tauhid Sarana Penyucian Jiwa Telah lalu dijelaskan sarana tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) diserahkan kepada para rasul karena Allah ta'ala mengutus mereka hanyalah untuk ini. Allah ta'ala menugaskan mereka untuk melakukan tazkiyatun nufus dan menyerahkan tugas ini kepada mereka, dalam hal mengajarkan, menjelaskan, dan memberikan bimbingan kepadanya, bukan dalam hal mencipta dan memberi ilham. Para rasul diutus untuk mengobati jiwa umat. Allah ta'ala berfirman, هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajari mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jumu’ah: 2) Allah ta'ala berfirman, كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepada kalian), Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian serta mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 151) Menyucikan jiwa lebih sulit daripada mengobati jasmani. Imam ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan: Penyucian jiwa diserahkan kepada para rasul. Mereka diutus Allah hanya untuk penyucian jiwa dan menyerahkannya kepada mereka dan menjadikannya ditangan mereka berupa dakwah, pengajaran, penjelasan dan bimbingan. Mereka diutus untuk mengobati jiwa umat. Kemudian beliau berkata lagi : Penyucian jiwa lebih sulit dan susah dari terapi penyembuhan badan. Sehingga orang yang menyucikan jiwanya dengan latihan, mujahadah dan bersendirian bersama Allah (Berkholwah) yang tidak diajarkan para Rasul, maka seperti orang sakit yang mengobati dirinya dengan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa pas dengan pengetahuan para tabib? Para rasul adalah tabib hati, sehingga tidak ada jalan untuk penyucian jiwa dan kesalihanya kecuali dari jalan mereka dan ditangan mereka serta dengan terikat dan pasrah total kepada mereka. (Madarij as-Saalikin 2/356) Seagung-agung perkara yang menjadi pokok dasar seseorang dalam membersihkan jiwanya ialah tauhid. Tauhid ialah meng-Esakan Allah dengan melakukan peribadatan dan penyembahan hanya kepada-Nya saja. Segala peribadatan yang berbentuk permohonan, cinta, takut, tawakal, taat, malu dan lain-lain dari gerakan-gerakan hati, lidah maupun anggota badan, hanya dipersembahkan kepada Allah saja, dengan mengikuti ketentuan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Tauhid yang intinya adalah beribadat hanya kepada Allah saja ini merupakan penyucian jiwa yang paling besar dan paling penting. Sebab, itulah tujuan pokok diciptakannya manusia dan jin. Orang yang bersih tauhidnya adalah orang yang bersih jiwa dan hatinya. Demikian juga tampak jelas hal ini karena mengenal kebenaran adalah pondasi keutamaan dan akhlak mulia sehingga tidak ada hak dan kebenaran yang lebih utama dari Allah dan mengenalNya. Dengan demikian kebatilan yang paling besar adalah lawan dari tauhid yaitu syirik. Jika tauhid merupakan kebersihan jiwa yang paling besar, maka kemusyrikan merupakan kotoran jiwa yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ “Sesungguhnya, orang-orang musyrik adalah orang-orang yang najis.” (Qs. at-Taubah/9: 28). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat itu bukanlah najis dalam arti fisik. Tetapi, najis jiwa dan agamanya. [lihat tafsir al-Quran al-‘azhim 2/360] Barang siapa yang paling paham tentang Allah maka ia akan paling takut kepada-Nya, dia akan lebih taat dalam beribadah kepada-Nya dan semakin jauh dari bermaksiat kepada-Nya. Yang demikian ini merupakan bentuk tazkiyatun nufus dan merupakan kesempurnaan dalam mewujudkannya. Dengan demikian, jika orang ingin melakukan proses pembersihan jiwa, maka hal pertama dan paling utama untuk dilakukan adalah membersihkan tauhidnya dari segala macam syirik.. Kita memohon kepada Allah Rabb pemilik Arsy’ yang agung, dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, semoga Dia memberikan taufik kepada kita semua untuk dapat menyucikan jiwa kita masing-masing, dan semoga Dia memperbaiki seluruh urusan kita, karena sesungguhnya Allah ta’ala Maha mendengar setiap doa, dan Dia Maha menerima harapan, dan Cukuplah Allah menjadi penolong kita dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Semoga bermanfaat. Wabillahi taufiq. _____________________________________________________________________________________________________ Disusun oleh: Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله Kamis, 04 Dzul'qadah 1441 H/ 25 Juni 2020 M Beliau adalah Mudir Pondok Pesantren Ibnu Abbas As Salafi, Sragen Sumber Artikel : https://bimbinganislam.com/tauhid-sarana-penyucian-jiwa/

Tauhid Sarana Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa)

Tauhid Sarana Tazkiyatun Nufus (Penyucian Jiwa) Telah lalu dijelaskan sarana tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) diserahkan kepada para rasul karena Allah ta’ala mengutus mereka hanyalah untuk ini. Allah ta’ala menugaskan mereka untuk melakukan tazkiyatun nufus dan menyerahkan tugas ini kepada mereka, dalam hal mengajarkan, menjelaskan, dan memberikan bimbingan kepadanya, bukan dalam hal mencipta dan memberi ilham.…

Perbandingan Hafalan Santri SMA Setelah Dan Sebelum Masuk MQ

Dari hafalan seadanya menjadi hafalan sejuta makna, Santri Kelas 12 SMA Madinatul Qur’an, Angkatan 2019/2020. Dengan tekad yang bulat dan kerja keras yang tak kenal lelah, santri-santri Madinatul Quran berhasil menghafal dan memahami Al-Quran dengan baik. Perjuangan mereka tidak sia-sia, karena kini mereka siap menghadapi dunia dengan ilmu yang bermanfaat dan akhlak yang mulia, sebagai…

Madinatul Qur’an Peduli

Alhamdulillah segala puji bagi Allah. pada tanggal 25 Desember 2021 Tim relawan dari Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Bogor melakukan perjalanan menuju lokasi bencana Gunung Semeru, Lumajang Jawa Timur.   Dan Alhamdulillah berkat uluran tangan dan doa dari kita semua, tim relawan bisa menyalurkan bantuan dan tenaga berupa :   Pembangunan rumah sementara bagi korban yang…

Hukum Mengucapkan “Selamat Natal”

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan…

Agar Anak Memiliki Adab yang Baik

Inti dari pendidikan anak adalah pembiasaan, hendaknya anak dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, diajarkan tutur kata yang baik. Kita juga harus memberikan teladan yang baik serta menjaga anak dari bermain, bergaul dengan anak-anak lain atau orang lain yang berakhlak buruk. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ…

Menyebutkan Dalil Saat Mengajari Anak, Perlukah?

Setiap orang tua, tentu ingin selalu mengajarkan  kebaikan  pada anak-anaknya. Akan tetapi, tidak semua orang tua mengetahui cara-cara terbaik untuk menanamkan kebaikan pada anak, tak jarang, sebagian orang tua memilih cara-cara instan ketika menghendaki kebaikan bagi anaknya. Misalnya, sebagian orang tua yang memerintahkan anak dengan alasan agar seperti teman-temannya,  melarang anak dengan alasan  malu dengan…

Ayah Ibu, Didiklah Aku Seperti Sahabat

Dalam sebuah kelas di sebuah sekolah dasar, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya: ” Apa cita-cita kalian bila besar nanti?” Maka, seperti umumnya anak-anak, mereka menjawab ingin menjadi dokter, teknisi, polisi, dan jabatan-jabatan semisalnya, sampai pada seorang murid, ia berkata: aku ingin menjadi seperti sahabat nabi, karena ibuku selalu mengatakan bahwa merekalah orang-orang yang dicintai Allah…