Peran Rumah Dalam Pendidikan Anak

Peran Rumah Dalam Pendidikan Anak

Anak Jika rumah, sekolah dan masyarakat merupakan pilar-pilar pendidikan dasar, maka rumah adalah pilar pertama lagi utama dan paling kuat dari semua itu. Rumah menampung anak sejak tahap pertamanya. Waktu yang dihabiskan oleh anak-anak di rumah pun lebih besar dibandingkan di tempat yang lain, dan bahwa orang tua adalah orang yang paling berpengaruh bagi anak.…

Ini Sebab Penting-Nya Menanamkan Aqidah Sejak Dini

Ini Sebab Penting-Nya Menanamkan Aqidah Sejak Dini

Pendidikan agama sejak dini adalah tugas keluarga Muslim. Ini tidak hanya mengandalkan sekolah atau Taman Pembelajaran Al-Qur’an (TPA), tapi dimulai di rumah. Orang tua harus mendidik anak tentang Aqidah dan ibadah yang benar. Jika orang tua tidak mampu, bisa mengarahkan anak ke sekolah Islami. Setiap orang tua tentu menginginkan anak yang baik. Dalam Al Mawsu’ah…

Yuk, Tanamkan Aqidah Kepada Anakmu Sejak Dini

Yuk, Tanamkan Aqidah Kepada Anakmu Sejak Dini

Artikel ini akan membahas tentang pentingnya mendidik anak-anak sejak usia dini dalam hal Aqidah Islam. Usia belia dianggap sebagai saat yang krusial untuk menanamkan fondasi iman yang kokoh, karena fitrah anak-anak masih murni dan mudah menerima ajaran. Para nabi dan rasul pun telah mengajarkan tentang pentingnya memeluk agama Islam sejak dini. Oleh karena itu, mengajarkan…

Apakah Benar Tak Boleh Tarik Biaya Pendidikan Islam

Apakah Benar Tak Boleh Tarik Biaya Pendidikan Islam

Seorang penanya menyatakan, “minta upah dari murid dan mensyaratkannya dalam mengajar, ini menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’ (QS. Shad: 86-88). Juga QS. Hud: 29, 109, 127, 145, 164, 180, QS. Asy Syu’ara: 109, 126, 145, 164, 180. Ishaq bin Rahawaih…

Penjagaan Anak-Anak Kita dan Pemikiran Mereka di Dunia Barat

Penjagaan Anak-Anak Kita dan Pemikiran Mereka di Dunia Barat

Nasihat Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid Hafizhahullah Pertanyaan: Kami -kaum muslimin di negeri-negeri barat- menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menjaga anak-anak kami dari kesesatan dan penyimpangan di masyarakat barat yang menyimpang. Kami mohon beberapa tips amaliah yang bisa menjaga anak-anak kami dari kesesatan dan penyimpangan. Jazakumullahu khairan (Semoga Allah Ta’ala membalas kalian dengan kebaikan). Jawaban: Alhamdulillah (Segala puji…

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah Pertanyaan: Sebagian ayah yang istiqamah (dalam menjalankan syariat, pent.) … anak-anaknya yang tidak berpegang dengan hukum-hukum Islam secara sempurna. Misalnya, sang ayah melihat bahwa sang anak menjaga shalat wajib dan pokok-pokok Islam yang lain, akan tetapi anak mereka tersebut terjerumus dalam sebagian maksiat. Seperti menonton film, memakan riba, tidak menghadiri shalat berjamaah -terkadang-, memangkas jenggot, dan kemungkaran yang lain. Lalu, bagaimanakah sikap seorang ayah yang istiqamah tersebut dalam menghadapi anak-anak mereka tersebut? Apakah mereka harus bersikap keras ataukah bersikap lembek kepada anak-anak mereka? Jawaban: Yang menjadi pendapatku adalah hendaknya sang ayah mendakwahi (menasihati) anaknya sedikit demi sedikit. Jika sang anak terjerumus ke dalam banyak maksiat, maka dia lihat manakah maksiat yang paling parah. Dari situ, dia mulai menasihati, terus-menerus berbicara (berdialog) dengan sang anak dalam maksiat (yang paling parah) tersebut. Sampai Allah Ta’ala memudahkan usahanya dan sang anak pun akhirnya bisa meninggalkan maksiat tersebut. Namun jika sang anak tidak mau menerima nasihat sang ayah, maka perlu diketahui bahwa maksiat itu bervariasi. Sebagian maksiat tidak dapat ditolerir, tidak mungkin Engkau menyetujui anakmu masih berbuat maksiat tersebut, sementara dia masih bersamamu. Dan sebagian maksiat yang lain, levelnya di bawah itu. Kaidahnya, jika seseorang menghadapi dua mafsadah (dalam hal ini maksiat yang dilakukan sang anak), dan dua-duanya terjadi, atau terjadi salah satunya, maka dia boleh mengambil salah satu mafsadah yang lebih ringan. Inilah keadilan dan hal itu pun dibenarkan. Akan tetapi, juga terdapat musykilah (kejanggalan) yang lain, sebagai kebalikan dari pertanyaan tersebut. Yaitu, sebagian pemuda tidak melakukan penyimpangan yang dilakukan oleh sang ayah. Maksudnya, pemuda tersebut (sang anak) adalah istiqamah di atas syariat, sedangkan ayahnya adalah kebalikannya. Dia pun menjumpai ayahnya bertentangan dengannya dalam banyak permasalahan. Nasihatku kepada sang ayah adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah Ta’ala, berkaitan dengan diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Hendaklah mereka berpandangan bahwa keshalihan dan keistiqamahan anak-anak mereka sebagai nikmat Allah Ta’ala yang harus disyukuri. Hal ini karena keshalihan anak-anak mereka tersebut akan bermanfaat untuk mereka, baik ketika masih hidup maupun ketika sang ayah tersebut meninggal dunia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631) Kemudian aku juga menujukan nasihatku kepada anak-anak, baik laki-laki dan perempuan, bahwa ayah dan ibu mereka, jika memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh ditaati. (Perintah mereka) tidak wajib ditaati. Melawan (menyelisihi) perintah mereka -meskipun mereka menjadi marah- bukanlah termasuk dalam perbuatan durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan, hal itu termasuk dalam berbuat baik kepada kedua orang tua, karena dosa dan kedzaliman orang tua tidak menjadi bertambah ketika kalian mematuhi perintah maksiat yang berasal dari orang tua. Oleh karena itu, jika kalian menolak berbuat maksiat yang diperintahkan kepada kalian, maka kalian pada hakikatnya telah berbuat baik kepada mereka. Hal ini karena kalian telah mencegah bertambahnya dosa atas mereka, maka janganlah taat dalam berbuat maksiat sama sekali. Adapun dalam perkara ketaatan yang apabila ditinggalkan bukanlah maksiat (yaitu, perkara sunnah, pent.), maka hendaknya seseorang melihat manakah yang lebih baik. Jika dia melihat bahwa yang lebih baik adalah menyelisihi (perintah orang tua), maka hendaknya dia menyelisihinya. Akan tetapi, dia bisa bersikap basa-basi. Yaitu apabila perintah orang tua itu masih memungkinkan untuk diingkari (tidak ditaati), namun dengan sembunyi-sembunyi, maka hendaknya tidak taat dan menyembunyikannya dari mereka berdua. Namun jika tidak mungkin disembunyikan dari mereka, maka hendaklah ditampakkan, dan hendaknya membuat mereka tenang (lega) dengan menjelaskan kepada orang tua bahwa perbuatan tersebut tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi mereka (kedua orang tua) dan juga bagi dirinya sendiri, atau kalimat-kalimat sejenis yang bisa menenangkan hati kedua orang tua. Dikutip dari: https://muslim.or.id/56717-kewajiban-seorang-ayah-dalam-menasihati-sang-anak.html

Kewajiban Ayah Dalam Menasihati Anaknya

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah Pertanyaan: Sebagian ayah yang istiqamah (dalam menjalankan syariat, pent.) … anak-anaknya yang tidak berpegang dengan hukum-hukum Islam secara sempurna. Misalnya, sang ayah melihat bahwa sang anak menjaga shalat wajib dan pokok-pokok Islam yang lain, akan tetapi anak mereka tersebut terjerumus dalam sebagian maksiat. Seperti menonton film, memakan riba,…

Diantara hak anak yang wajib ditunaikan oleh para orang tua adalah wajibnya menyamakan pemberian kepada anak. Tidak boleh melebihkan satu anak dibanding yang lain dalam hal pemberian atau hibah atau hadiah. Wajib Sama Dalam Pemberian Dan Hibah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, “Diantara hak anak adalah orang tua tidak melebihkan seorang anaknya dalam hal athaya’ (pemberian) dan hibah. Tidak boleh memberikan salah seorang anak saja, sedangkan yang lain tidak diberi. Karena ini merupakan kecurangan dan kezhaliman, dan Allah tidak mencintai orang yang zhalim. Selain itu ini juga hal ini menimbulkan kekecewaan dari anak yang tidak diberi dan menimbulkan permusuhan diantara mereka. Bahkan terkadang menimbulkan permusuhan antara ia dan orang tuanya”. Beliau melanjutkan, “Sebagian anak, ia lebih istimewa dibanding yang lain dalam berbakti dan lebih sayang kepada orang tua. Lalu orang tua pun mengkhususkan ia dalam hal hibah dan pemberian karena sebab keistimewaannya itu. Namun ini bukanlah alasan yang baik untuk mengkhususkan pemberian kepadanya. Keistimewaan ia dalam berbakti tidak perlu di balas berupa materi, karena Allah lah yang akan membalasnya. Karena mengistimewakan anak tersebut dalam pemberian, akan membuat anak tersebut ujub atas amal baktinya kepada orang tua, dan ia akan memandang bahwa dirinya lebih baik dari saudaranya yang lain, dan membuat anak yang lain akan terus berada dalam kedurhakaannya. Karena kita tidak tahu apa yang terjadi kelak. Terkadang anak yang berbakti berubah menjadi durhaka, atau yang durhaka berubah menjadi berbakti. Karena hati itu di tangan Allah, Allah membolak-balik hati sesuai kehendak-Nya. Dalam Shahihain, Shahih Al Bukhari dan Muslim, dari An Nu’man bin Basyir, bahwa ayahnya, Basyir bin Sa’ad menghadiahkan budak laki-laki untuknya. Kemudian An Nu’man mengabarkan hal ini kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian beliau bersabda: أكل ولدك نحلته مثل هذا ؟ قال : لا . قال فأرجعه “Apakah setiap anakmu mendapatkan hal yang semisal?”. Basyir menjawab: “tidak”. Nabi mengatakan, “kalau begitu kembalikanlah” (HR. Al Bukhari 2587, Muslim 1623/9). Dalam riwayat lain Nabi bersabda (kepada Basyir) : اتقوا واعدلوا بين أولادكم “Bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian” (HR. Al Bukhari 2587, Muslim 1623/13) Dalam lafazh yang lain: أشهد على هذا غيري ، فإني لا أشهد على جور “Carilah saksi yang lain, karena aku tidak mau menjadi saksi atas kecurangan” (HR. Al Bukhari 2650, Muslim 1623/14) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menamai perbuatan melebihkan salah seorang anak dibanding yang lain sebagai perbuatan curang dan curang itu zhalim serta haram hukumnya” (Huquq Da’at Ilaihal Fithrah, bab ke-4, bisa dilihat di sini). Syaikh Abdullah Al Faqih memaparkan, “Tidak ada khilaf di antara ulama bahwa orang tua dituntut untuk taswiyah (menyamakan) pemberian kepada anak-anaknya. Dan tidak disyariatkan melebihkan salah seorang diantara mereka. Namun memang diantara ulama ada yang berpendapat taswiyah tersebut tidak wajib, dan sebagian ulama yang lain mengatakan wajib dan inilah yang rajih (lebih kuat)” (Fatwa IslamWeb no. 27543). Setelah membawakan hadits-hadits yang menjadi dalil taswiyah dalam pemberian kepada anak, beliau juga melanjutkan, “sebagian ulama berdalil dengan hadits ini bahwa wajib menyamakan pemberian kepada anak-anak. dan menunjukkan bahwa wajib mengurungkan pemberian jika terjadi ketidak-adilan tersebut. Yang berpendapat demikian diantaranya Ishaq, Ats Tsauri, dan ditegaskan oleh Imam Al Bukhari dan juga salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Adapun jumhur, mereka berpendapat bahwa taswiyah dalam pemberian kepada anak hukumnya sunnah. Mereka memaknai perintah-perintah dalam hadits sebagai perintah anjuran. Demikian juga mereka memaknai larangan dalam lafadz hadits Muslim, (sabda Nabi kepada Basyir)” أيسرك أن يكونوا لك في البر سواء قال: بلى.؟ قال: فلا إذن “Apakah engkau senang jika engkau diberi kebaikan yang sama sebagaimana orang lain? Basyir menjawab: ‘tentu’. Nabi bersabda: ‘kalau demikian, maka jangan begitu’” jumhur memaknai larangan di sini sebagai tanzih (larangan anjuran)” (Fatwa IslamWeb no. 5348). Boleh Tidak Sama Dalam Hal Kebutuhan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, “Namun jika salah seorang anak diberikan sesatu yang memang ia butuhkan sedangkan yang lain tidak membutuhkannya, semisal salah seorang anak membutuhkan alat tulis, atau obat tertentu, atau butuh menikah, maka tidak mengapa mengkhususkan salah seorang diantara mereka sesuai dengan kebutuhannya. Karena pengkhususan ini disebabkan kebutuhan, sehingga ia dianggap sebagai nafkah” (Huquq Da’at Ilaihal Fithrah, bab ke-4). Dikutip Dari: https://muslim.or.id/20193-wajib-persamaan-dalam-pemberian-kepada-anak.html

Wajibnya Persamaan Saat Pemberian Kepada Anak

Diantara hak anak yang wajib ditunaikan oleh para orang tua adalah wajibnya menyamakan pemberian kepada anak. Tidak boleh melebihkan satu anak dibanding yang lain dalam hal pemberian atau hibah atau hadiah. Wajib Sama Dalam Pemberian Dan Hibah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, “Diantara hak anak adalah orang tua tidak melebihkan seorang anaknya dalam…

Anak-anak partinya sangat senang dengan cerita dan kisah-kisah, apalagi apabila cerita itu dibawakan oleh orang tuanya. Anak juga membutuhkan sosok sebagai teladan yang akan diikutinya, karena anak-anak ini adalah “mesin foto kopi” yang tentunya sangat cepat. Apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar akan dengan cepat diikuti oleh anak. Generasi muda Islam pada zaman keemasannya adalah generasi terbaik, yaitu pada zaman salafus shalih. karena pada zaman salafus shalih paraz orang tua sangat memperhatikan anak-anak mereka. Mereka para orang tua mengajarkan dan membacakan sejarah Islam kepada para anak mereka. Mereka juga perkenalkan para pahlawan-pahlawan Islam sebagai sosok yang sudah semestinya harus diteladani dan dikagumi. Karena sangat pentingnya sejarah Islam ini, sampai-sampai orang tua di zaman salafus shalih mengajarkan sejarah Islam sebagaimana mereka para orang tua mengajarkan Al-Quran kepada anak mereka. ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib (dikenal dengan nama Zainul ‘Abidin) berkata, كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن “Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an diajarkan kepada kami”[1. Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi 2/195, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, 1430 H, Asy Syamilah]. Sejarah serta kisah masa lalu berbeda dengan beberapa hukum fikih. Sejarah ini bisa memberikan semangat dan motivasi serta orang tua pada zaman salafus shalih memberikan praktek penerapan langsung dari ilmu yang dipelajari. Oleh karenanya, sebagian ulama pada lebih suka membahas tentang sejarah dan keteladanan para Nabi dan orang shalih. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [2. Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi, I/509 no.819, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, Asy Syamilah]. Bahkan juga kita ketahui bahwa sepertiga isi Al-Quran ini berisi tentang sejarah dan kisah-kisah umat di masa lampau, tentunya agar kita bisa mengambil ibroh (pelajaran) dan menjadikan teladan dari kisah para nabi-nabi dan orang shalih. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salamdan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yusuf: 111). Tetap bersemangat mengajarkan sejarah Islam kepada anak-anak dan generasi muda kita. Tentunya salah satu caranya adalah belikan mereka buku temtang sejarah Nabi dan orang shalih di usia dini dan serta dibacakan lalu dijelaskan kepada anak-anak. Serta kenalkan kepada mereka para pemuda Islam harapannya mereka kelak akan dapat dijadikan teladan dan contoh. Referensi: https://muslim.or.id/29217-mengajarkan-sejarah-islam-kepada-anak-sejak-usia-dini.html

Mari Ajarkan Sejarah Islam Kepada Anak Mulai Usia Dini

Anak-anak partinya sangat senang dengan cerita dan kisah-kisah, apalagi apabila cerita itu dibawakan oleh orang tuanya. Anak juga membutuhkan sosok sebagai teladan yang akan diikutinya, karena anak-anak ini adalah “mesin foto kopi” yang tentunya sangat cepat. Apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar akan dengan cepat diikuti oleh anak. Generasi muda Islam pada…

Yuk Jangan Lupakan Doa & Tawakal Ketika Mendidik Anak Lingkungan merupakan salah satu faktor paling menentukan seorang anak untuk menjadi saleh atau tholeh (buruk). Oleh karena itu, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak tercinta tercinta di sekolah pesantren, sekolah yang berbasis keislaman, bahkan ada orang tuanya yang mendaftarkan anaknya menggunakan sistem belajar home schooling di rumah dan tentunya biaya tidak murah. Karena para orang tua ingin mencari tempat lingkungan belajar yang baik dan kondusif untuk anaknya. Ikhtiar tersebut semoga menjadi pahala yang besar bagi orang tua anak tersebut karena telah memikirkan dengan sangat susah payah dan bekerja keras untuk kebaikan anak-anak mereka mereka. Namun kenyataannya, terkadang realitas di lapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tua. Walaupun anak sudah belajar di pondok pesantren, sekolah yang memiliki fokus keislaman, mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an), malah sang anak tetap saja jauh dari kata “saleh”. Tentunya ini dikarenakan sebab dan faktor lain yang mungkin tersadari ataupun tidak disadari oleh orang anak tersebut. Baik karena faktor teman, lingkungan tempat anak bersosial, pergaulan anak, bacaan anak, tontonan anak, dan masih banyak faktor lainnya. Di sisi yang berbeda, Ada sebagian orang tua yang kurang mengerti agama, orang tua anak kurang agamis, mereka menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau di sekolah umum, namun atas taufik dan hidayah dari Allah Ta’ala, sang anak menjadi anak yang saleh. Karena ada sebab lain yang mungkin bisa jadi disadari ataupun tidak disadari oleh orang tua anak tersebut. Baik karena faktor teman, lingkungan tempat anak bersosial, pergaulan anak, bacaan anak, tontonan anak, dan masih banyak faktor lainnya. Ibrah yang dapat kita ambil adalah, Allah Ta’ala adalah zat yang Maha Perkasa berkuasa mengatur segala makhluk-Nya dan akal manusia sangat begitu lemah, sehingga tidak akan mampu bersandar pada dirinya sendiri. Mungkin ada sebagian orang tua yang sudah mulai “hijrah” dan berpikir keras serta berjuang untuk menyekolahkan anaknya di sekolahan pesantren, sekolah Islam, dan lain sebagainya. Akan tetapi, masih ada yang lupa untuk menyerahkan urusan pendidikan anak kepada Rabbul ‘alamin, Rabb yang mengatur jagat raya. Lupa berdoa kepada Allah agar Allah selalu memberikan anaknya berupa taufik dan hidayah-Nya. Padahal, doa ini merupakan salah satu sebab yang paling utama untuk anak-anaknya bisa menjadi hamba Allah yang taat. Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam berdoa untuk kesalehan keturunannya, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh” (QS. Ash-Shafat: 100). Allah Ta’ala juga berfirman, رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (QS. Ibrahim: 40). Nabi Ibrahim ‘Alaihis salaam merupakan bapak dari para Nabi dan merupakan salah satu dari Ulul ‘Azmi. Tentu tidak ada yang meragukan kemampuan beliau dalam mendidik anak-anaknya. Namun beliau tetap berdoa kepada Allah Ta’ala, menyerahkan urusan ini kepada Allah Ta’ala, agar Allah Ta’ala menganugerahkan kepadanya keturunan yang saleh. Tentu tulisan ini tidak mengandung pesan meremehkan usaha sebagian orang tua anak yang tentunya telah berjuang dan bersusah payah untuk memberikan pendidikan kepada anaknya berupa menyekolahkan anaknya di pesantren, sekolah Islam, dan lembaga pendidikan lainnya. Namun tulisan ini juga sekedar pengingat bagi kita semua agar kita tidak lupa untuk selalu berdoa kepada Allah Ta'ala dan menyandarkan hati dalam urusan ini kepada Allah Azza wa Jalla. Dan bagi sebagian orang tua yang belum mampu untuk menyekolahkan anaknya di sekolahan yang berbasis pesantren dan sekolah Islam agar tidak berkecil hati dan juga tidak berputus asa. Karena banyak sebab lainnya yang dapat diusahakan para orang tua dalam mendidik anaknya. Dengan terus berdoa meminta hidayah kepada Allah dan juga tawakal hanya kepada-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik. Referensi: https://muslim.or.id/66513-jangan-lupakan-doa-dan-tawakal-dalam-mendidik-anak.html

Yuk Jangan Lupakan Doa Dan Tawakal Ketika Mendidik Anak

Yuk Jangan Lupakan Doa & Tawakal Ketika Mendidik Anak Lingkungan merupakan salah satu faktor paling menentukan seorang anak untuk menjadi saleh atau tholeh (buruk). Oleh karena itu, banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak tercinta tercinta di sekolah pesantren, sekolah yang berbasis keislaman, bahkan ada orang tuanya yang mendaftarkan anaknya menggunakan sistem belajar home schooling…

Sejak dini anak-anak sudah seharusnya dididik dengan baik oleh orang tuanya. Di rumah, anak-anak sudah diajarkan oleh orang tuanya berupa pendidikan akidah, akhlak, dan berbagai kewajiban ibadah yang harus dikerjakan oleh anak. Pendidikan itu sebetulnya bukan hanya dituntut di sekolah saja, Tetapi mendidik anak sudah seharusnya di mulai dari lingkungan keluarga. Mari kita lihat contoh para salaf dan tuntunan Islam dalam hal mendidik anak. Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (13:11) disebutkan, “Bapak dan ibu serta seorang wali dari anak hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia baligh nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai keimanan kepada Allah, malaikat, Al Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk mengerti shalat, puasa, thoharoh (bersuci) dan semacamnya.” Perintah yang disebutkan di atas adalah pengamalan dari sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Kembali dilanjutkan di dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, “Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khomr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat semacam itu. Sebagaimana pula diajarkan bahwa jika sudah baligh (dewasa), maka sang anak akan dibebankan berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak kapan ia disebut baligh.” (idem) Perintah untuk mendidik anak ini berdasarkan Al-Quran surat At Tahrim ayat 6, Allah Ta'ala berfirman : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6). Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir (7:321), ‘Ali mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Beritahukanlah adab dan ajarilah keluargamu.” Di atas telah disebutkan tentang perintah untuk mengajak anak mengerjakan ibadah shalat. Di masa para sahabat dahulu, mereka juga mendidik anak mereka untuk mengerjakan ibadah puasa. Mereka juga sengaja memberikan mainan kepadapada anak-anak agar tersibukkan bermain ketika mereka merasa lapar. Tak tahunya, mereka terus tersibukkan dengan bermain hingga waktu berbuka (waktu Maghrib) telah tiba. Begitu juga dalam rangka mendidik anak, para sahabat dahulu mendahulukan anak-anak untuk dijadikan imam ketika anak-anak telah memiliki banyak hafalan Al Qur’an. Begitu pula Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah berupa adab makan yang benar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada ‘Umar, يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bacalah bismillah) ketika makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022). Praktek dari Ibnu ‘Abbas, ia sampai-sampai mengikat kaki muridnya yang masih belia yaitu ‘Ikrimah supaya muridnya tersebut bisa dengan mudah menghafal Al Qur’an dan hadits. Lihat bahasan ini di Fiqh Tarbiyatil Abna’ karya Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 86-87. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita berupa anak-anak yang dapat menjadi penyejuk mata bagi kita. Referensi: https://muslim.or.id/19265-mendidik-anak.html

Mendidik Anak Dengan Baik Sejak Usia Anak-Anak

Mendidik Anak Dengan Baik Sejak Usia Anak-Anak Sejak dini anak-anak sudah seharusnya dididik dengan baik oleh orang tuanya. Di rumah, anak-anak sudah diajarkan oleh orang tuanya berupa pendidikan akidah, akhlak, dan berbagai kewajiban ibadah yang harus dikerjakan oleh anak. Pendidikan itu sebetulnya bukan hanya dituntut di sekolah saja, Tetapi mendidik anak sudah seharusnya di mulai…