Sabar merupakan salah satu sifat yang dicintai oleh Allah. Orang yang memiliki sifat sabar itu berarti dia dapat dengan mudah menjaga hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan yang merugikan bagi dirinya atau bagi sekelilingnya.
Arti dari sabar itu sendiri dalam Bahasa artinya adalah menahan. Adapun secara istilah, sabar adalah menahan lisan dari kata-kata yang buruk dan menandakan protes dari Allah.
Menahan diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menunjukkan pembangkangan atau ketidaksabaran, dan menahan hati untuk tidak suuzan dan marah kepada Allah ketika ditimpa musibah.
Dalam Islam sendiri, para ulama membagi sabar menjadi tiga bentuk:
الصَّبْرُ عَلَى طَاعَةِ الله – Sabar dalam menjalankan ketaatan
الصَّبْرُ عَنْ مَعْصِيَةِ الله – Sabar dalam meninggalkan maksiat
الصَّبْرُ عَلَى أَقْدَارِ الله – Sabar dalam menghadapi takdir Allah (musibah)
Pada artikel kali ini, akan saya berikan sepotong kisah dari perjalanan hidup salah seorang ulama madzhab, ulama besarnya diantara para ulama besar yang ada di zaman sekarang, seorang ulama yang membawa petunjuk melalui perantara beliau Allah SWT menolong agama ini dan menjaga sunnah Rasul-Nya.
Lahir pada tahun 164 H/780 M di ibukota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak. Beliau tumbuh dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal tatkala beliau masih kecil, kemudian beliau mulai menuntut ilmu dikala usianya masih belasan tahun, bertubuh sedikit jangkung dengan warna kulit sawo matang, dan menikah di usia yang sangat matang yaitu ketika berumur empat puluh tahun.
Beliau adalah syaikhul Islam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal adz-Dzahli asy-Syaibani al-Marwazi, mempunyai kunyah Abu Abdillah atau yang biasa kita kenal dengan Imam Ahmad.
Kisah ini dibawakan oleh Imam Adz-Dzahabi, beliau menjelaskan, “Dan kisah ini adalah benar, yang menunjukkan akan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Abu Abdillah (Imam Ahmad). Dan mereka didalam menghitung jumlah hafalan yang dimiliki oleh beliau, karena ada yang sifatnya berulang-ulang, dan ada yang hanya atsar dari sahabat , fatwanya para Tabi’in, dan tafsiran beliau dan ynag semisalnya dengan iotu semua. Karena kalau dijumlah seluruh matan hadits shahih yang ada, tentu tidak akan sampai pada angka bilangan satu juta hadits”. [1]
Imam Adz-Dzahabi melanjutkan, tatkala meletusnya fitnah Al-Qur’an adalah makhluk pada masanya Al-Ma’mun, Sholeh anak Imam Ahmad mengkisahkan, “Kemudian orang-orang (para ulama) pada saat itu mendapat ujian dan dipersiapkan bagi siapa saja yang menolaknya untuk dijebloskan ke dalam penjara.”
“Maka semuanya menuruti kemauan mereka kecuali empat orang, Ayahku (Imam Ahmad), Muhammad bin Nuh, Al-Qawariri, dan Hasan bin Hamad. Kemudian diantara empat orang ini dua orang akhirnya menyerah sehingga tinggal dua orang yang enggan yaitu Ayahku dan Muhammad sehingga keduanya ditahan selama beberapa waktu.”
“Kemudian datang surat dari Thurthus untuk membawa keduanya dengan tangan terikat. Lantas ditengah perjalanan Muhammad bin Nuh meninggal dunia sehingga tinggal ayahku sendirian yang dibawa menghadap mereka.”
Abas ad-Dauri mengatakan, “Aku pernah mendengar Abu Ja’far mengkisahkan, “Tatkala Imam Ahmad digelendang dibawa menghadap al-Ma’mun, aku kabarkan beritanya kepada al-Farat, ketika itu aku dapati dirinya sedang duduk dikedainya lalu aku ucapkan salam padanya.
Dia berkata, “Wahai Abu Ja’far, engkau membawa berita duka”. Aku katakan, “Duhai anda, sekarang engkau adalah ulama panutan, banyak manusia mengikutimu. Demi Allah, kalau seandainya engkau menuruti mereka dengan mengatakan al-Qur’an adalah makhluk tentu orang-orang akan menirumu. Dan membuat Ahmad bin Hanbal menangis dan hanya mampu mengucapkan, “Apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kehendaki pasti terjadi”.
Maka fitnah itu membuat kami berputus asa. Lantas dia berkata, “Aku tidak peduli dengan tahanan, tidaklah penjara kecuali sama seperti rumah bagiku, bukan tebasan pedang yang kutakuti, namun, fitnah cambuk yang kutakuti. Maka ada Sebagian penghuni penjara yang mendengar ucapan beliau, lantas dia berkata, “Tidak mengapa wahai Abu Abdillah, tidak ada cambuk kecuali dua cambukkan kemudian engkau tidak lagi merasakan rasanya”. Seakan-akan dirinya akan lenyap setelah itu.
Sholeh bin Ahmad melanjutkan kisahnya, “Ayahku (Imam Ahmad) berkata, “Tatkala kami dibawa dan sampai dinegeri perbatasan, kemudian di pertengahan malam kami meninggalkan tempat tersebut, maka ketika pintunya dibukakan untuk kami tiba -tiba ada seseorang datang sambil menyeru, “Kabar gembira, dirinya telah meninggal -Yang dimaksud adalah Al-Ma’mun- Ayahku berkata, “Dan aku berdo’a kepada Allah SWT agar aku tidak dipertemukan dengannya”.
Setelah itu Ahmad terus ditahan di Ruqah sampai dibai’atnya Mu’tashim menjadi khalifah setelah kematian saudaranya. Diapun sama dengan saudaranya, memberi titah supaya tetap menyiksa Imam Ahmad, dengan memberi cambuka sampai dirinya pingsan beberapa kali.
Sholeh melanjutkan kisah Ayahnya, “Kemudian beliau dibebaskan dan dikembalikan pulang ke rumahnya. Dan beliau tinggal di dalam penjara semenjak mulai dimasukan sampai berlalu, selama dua puluh delapan bulan”. Diantara Akhlak mulia beliau, ialah pemaaf dan lapang dada sampai kepada lawan yang paling membencinya serta yang menyiksanya.
Beliau juga berkata pada ahli bid’ah, “Antara kita dan kalian ada sholat jenazah”. Berkata Abdul Wahab al-Waraq mengkisahkan kematian beliau, “Belum pernah sampai kepada kita sejarah dalam masa Jahiliyah tidak pula pada masa Islam sebelumnya akan banyaknya orang yang berkumpul untuk menyolati jenazah beliau.
Sampai kiranya sampai kepada kita, bahwa tidak ada tempat yang bisa untuk sholat melainkan disitu ada sekumpulan orang yang ikut menyolati jenazahnya, sehingga terkumpul pada saat itu satu juta orang.
Orang-orang berlomba-lomba membukakan pintu-pintu rumahnya dijalanan dan pintu gerbang sambil mempersilahkan, ‘Siapakah yang ingin berwudhu”.[2]
Beliau meninggal dunia pada hari jum’at tanggal 12 Rabi’ul awal tahun 241 H. semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla merahmati beliau dengan rahmat -Nya yang luas.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’alla membalas beliau akan jasa-jasanya kepada Islam dan kaum muslimin sebaik-baik balasan. Dan mengumpulkan kita bersamanya dinegeri kenikmatan bersama para Nabi, Shidiqin, para syuhada serta orang-orang sholeh. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.
Inilah salah satu kisah kesabaran seorang ulama besar ketika beliau dipenjara dikarenakan masalah fitnah Al-Qur’an yang menyebutnya sebagai makhluk Allah, akan tetapi beliau Imam Ahmad tetap berpegang teguh kepada keyakinannya dan ilmu yang telah dipelajarinya.
Maka beliau mendapatkan ganjaran kebaikan yang sangat banyak dalam kehidupan di dunia setelahnya dan di kehidupan akhirat kelak. Semoga kisah ini dapat menginspirasi kita untuk tetap bersabar di atas semua masalah yang datang kepada kita. Aminn.
Footnote:
[1] Siyar a’lamu Nubala 11/187
[2] Siyar a’lamu Nubala 11/177-356.