Dalam sebuah kelas di sebuah sekolah dasar, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya: ” Apa cita-cita kalian bila besar nanti?” Maka, seperti umumnya anak-anak, mereka menjawab ingin menjadi dokter, teknisi, polisi, dan jabatan-jabatan semisalnya, sampai pada seorang murid, ia berkata: aku ingin menjadi seperti sahabat nabi, karena ibuku selalu mengatakan bahwa merekalah orang-orang yang dicintai Allah dan RasulNya.”
MasyaAllah!
Ayah dan ibu, pernahkah hal itu terbetik di benak anak-anak kita? Menjadi seperti sahabat nabi radhiyallahu anhum ajma’in. Atau, anak-anak kita lebih mengenal dan mengidolakan tokoh-tokoh non muslim, orang-orang fasik, atau malah tokoh-tokoh fiksi dan tidak mengenal nama-nama para sahabat Nabi mereka? Naudzubillah min dzalik. Bila demikian, maka janganlah mengeluh apabila kita melihat banyak anak-anak kaum muslimin yang sangat sulit menerima ajaran Islam, bahkan bangga dengan syiar-syiar kekafiran dan kefasikan, karena mereka telah mengambil panutan yang salah.
Ayah ibu, tidakkah kita merindukan generasi-generasi cemerlang yang membawa kembali kebesaran nama Islam? Kalau begitu, marilah kita buka kembali lembaran sejarah paling gemilang dalam Islam, yaitu sejarah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum , sebagaimana sabda Rasulullah:“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533). Bila kita buka sirah nabawiyah, kita akan temui bahwa sebagian besar sahabat nabi adalah pemuda, bahkan di antara mereka adalah anak-anak.
Ayah ibu, mari kita baca dan kisahkan pada anak-anak kita tentang Ali bin Abi Thalib. Orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, pada usianya 10 tahun. Usia yang sangat belia, tetapi Ali telah mampu memilih jalan hidupnya sendiri, membedakan yang hak dari yang batil, melawan tradisi kaum dan keluarganya, tanpa merasa minder karena usianya yang sangat muda. Bandingkan dengan sebagian besar anak-anak zaman ini yang hanya berfikir untuk bermain, sibuk dengan game, play station, atau tontonan hiburan semata. Betapa cerdasnya Ali kecil, yang telah memilih peribadatan kepada Allah semata dan mengambil Rasulullah sebagai teladannya, sementara lingkungannya adalah penyembah berhala dan penghalang dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Itulah Ali, yang selanjutnya menjadi pemuda gemilang dalam Islam dan dikabarkan oleh Rasulullah sebagai orang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya..
Atau mari kita kisahkan tentang kepahlawanan Usamah bin Zaid, pemuda kecintaaan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, yang telah dipercaya memimpin pasukan kaum muslimin memerangi pasukan Romawi, saat usianya masih 18 tahun! Sungguh prestasi yang luar biasa. Dan Usamah pun mampu membuktikan kepercayaan Rasulullah kepadanya dengan membawa kemenangan bagi kaum muslimin, tanpa ada satu korban pun dari kaum muslimin!
Atau tuturkan kepada anak-anak kita tentang Ibnu Abbas, yang dijuluki tintanya umat ini. Tahukah Anda, berapa usianya ketika menjadi sahabat nabi? Kurang dari 13 tahun! Dalam usia yang sangat belia itulah, Ibnu Abbas banyak mengambil hadist dan pelajaran dari Nabi, sehingga setelah Nabi wafat, ia meriwayatkan sebanyak 1660 hadits dan menjadi periwayat hadits terbanyak kelima di antara sahabat nabi. Subhanallah! Remaja kecil dengan hati yang sadar, pikiran yang jernih, hafalan yang luar biasa, hujjah yang kuat, dan intuisi yang tajam, ditambah dengan doa Rasulullah untuknya:
«اللهم فقّهه في الدين، وعلّمه التأويل».
” Ya Allah pahamkanlah ia akan ilmu agama, dan ajarilah ia tafsir”
Ayah ibu, kisahkan pula tentang keberanian para sahabat belia yang ingin menjadi syuhada..Ya, menjadi syuhada. Kata-kata yang mungkin tidak dikenal oleh sebagian besar remaja saat ini, apalagi untuk diimpikan. Tapi itulah mereka.. Muadz bin Amr Bin Al Jamuh dan Muadz Bin Afra’. Dua remaja yang mengikuti perang Badr untuk membunuh Abu Jahal, sampai akhirnya keduanya berhasil membunuh Abu Jahal, fir’aun masa itu. Atau tentang Umair, saudara Sa’ad bin Abi Waqqash. Berkata Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu; aku melihat saudaraku Umair bersembunyi di tengah pasukan (sebelum perang Badr), maka aku bertanya: “Ada apa denganmu? ” Ia menjawab: “aku takut Rasulullah melihatku dan menolak aku ikut berperang , sedangkan aku ingin berperang, agar Allah menjadikan aku syuhada’. Ketika Umair dihadapkan pada Rasulullah, beliau menolaknya karena usianya yang masih kecil, maka Umair pun menangis…
Atau bukalah kisah Zaid Bin Tsabit, yang ketika mendatangi bertemu Nabi usianya baru mencapai 11 tahun. Ketika itu, ia telah menghafal 17 surat dalam Al-Qur’an.
Zaid adalah sekretaris bagi Rasulullah, Rasulullah meminta Zaid untuk belajar bahasa Yahudi untuk menuliskan surat-surat beliau kepada kaum Yahudi. Dalam usia yang sangat muda tersebut Zaid mampu menguasai bahasa Yahudi hanya dalam waktu 15 hari! Setelah itu, Zaid radhiyallahu anhu selalu menuliskan surat dakwah untuk kaum yahudi sekaligus menerjemahkan balasan surat dari kaum yahudi tersebut untuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam . Zaid juga memiliki kemampuan menghafal dan menulis yang handal, sehingga ialah salah seorang sahabat yang berperan besar dalam pembukuan Al Qur’an.
Ayah Ibu, tidakkah terketuk hati kita untuk menjadikan anak-anak kita seperti mereka? Generasi dengan akal yang jernih dan iman yang menancap kokoh di dada, melahirkan sederet sikap yang mulia, sangat jauh dari sikap hura-hura serta mengekor para pemuja dunia..
Tidakkah terketuk hati kita untuk menjadikan mereka panutan bagi putra-putri kita, ketimbang tokoh-tokoh khayal dan para pelaku maksiat?
Karenanya, mari kita dekatkan generasi muda kita dengan para sahabat, jangan pernah enggan meluangkan waktu untuk membuka dan membacakan sejarah mereka. Didik anak-anak kita untuk mencontoh mereka, atau setidaknya mengenal dan mencintai mereka!
Ditulis oleh : Ummu Sholih حفظها الله