1. Memilih Guru Terbaik
Mengapa harus memilih guru terbaik? Karena adabmu yang mulia berhak untuk diberikan kepada ahlinya, bukan sembarangan orang, bukan sekedar bermanhaj dan beraqidah Salaf tetapi dia juga cakap menguasai ilmunya.
Seorang ulama tabi’in Muhammad bin Sirin rahimahullah berwasiat:
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.” (lihat Al-‘Ilal, karya Ibnu Rojab, 1/355).
Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah menasihatkan, “Ilmu tidak diambil dari seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesholihan serta banyak ibadah namun dia tidak memahami apa yang diucapkan (bukan ahlinya).” (Tadribur Rowi 1/43)
Meski keahlian orang bertingkat-tingkat namun setidaknya diketahui pengalaman belajar gurunya, atau diketahui ada rekomendasi dari orang alim terhadap gurunya tersebut. Karena para Ulama mengingatkan, “Banyak orang yang diberi ilmu namun tidak dianugerahi pemahaman.” Yakni tahu dalil akan tetapi tidak paham istidlal (pendalilan).
2. Rendah Hati Dengan Memuliakan
Para Salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya telah memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abdullah Bin Abbas radhiallahu ‘anhuma seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu ‘anhu dan berkata,
هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا
“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”. (lihat kisahnya dalam Tarikh Ibnu Asakir, 19/326).
Bahkan cara pemuliaan para sahabat kepada sang guru, di madrasah kenabian sangat menakjubkan. Kerendahan hati mereka diceritakan oleh sahabat mulia Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara”. (HR. Ahmad, no. 11289, dan lainnya, dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnaut).
Alangkah mulianya akhlak mereka, para suri tauladan kaum muslimin, tidaklah heran mengapa mereka menjadi ulama besar di umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.
3. Bersabar
Manusia pasti pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya nya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Tetap bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya.
Dan termasuk bersabar yang terbaik adalah bersabar bersama para guru kita ahli ilmu untuk menimba ilmu dari mereka.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,
اصْبِرْ عَلَى مُرٍّ مِنْ الجَفَا مُعَلَم
فَإِنَّ رُسُوْبَ العِلْمِ فِيْ نُفْرَاتِهِ
“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru,
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”
4. Memperhatikan Sikap Ketika Berinteraksi
Mulai dari sikap ketika hadir di majelis ilmu, cara duduk, gaya bertanya, tata cara berbicara, bahkan ketika ada sebuah masalah, dimana murid berbeda pandangan dengan sang guru, dan bagaimana menyikapinya dengan benar.
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah, Seorang alim di zamannya pernah berpesan;
“Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat pada nilai manfaat. Sebagian salaf terbiasa apabila menghadap kepada gurunya kemudian bersedekah terlebih dahulu dan berdo’a,
اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني
‘Ya Allah tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku’…
Seorang penuntut ilmu hendaknya ta’at kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak berselisih paham dengan pendapat gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaan gurunya. Hendaknya ia melebih-lebihkan dalam menghormati gurunya dalam bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala dengan ber-khidmah kepada gurunya. Dan ia mengetahui bahwa kerendahannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadhuaannya kepada gurunya itu merupakan keluhuran” (lihat kitab Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallim, Hal. 97- 98).
5. Berdoa
Mendo’akan guru yang telah mengajarkan ilmu agama merupakan bagian dari adab penuntut ilmu. Dalam sebuah hadits dari sahabat mulia Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَنْ أَتَى إِليْكُم مَعْروفاً فَكَافِئُوه فَإِنْ لَمْ تَجِدوا فَادْعُوا لَهُ، حَتَّى يَعلَمَ أن قَد كَافَئْتُمُوه
“Dan barangsiapa berbuat baik kepada kalian maka balaslah kebaikannya. Jika kamu tidak mampu (membalas kebaikannya), maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no. 216).
Dahulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata (artinya),
“… dan bagi seorang pelajar hendaknya ia mengetahui kehormatan gurunya dan berterima kasih atas kebaikannya kepada dirinya. Karena sesungguhnya orang yang tidak berterima kasih kepada manusia hakekatnya ia tidak bersyukur kepada Allah, dan (hendaknya) ia tidak mengabaikan haknya dan tidak mengingkari kebaikannya.” (lihat Majmu’ Fatawa, 28/17)
Referensi:
https://bimbinganislam.com/5-adab-istimewa-terhadap-guru/